Rabu, 04 Januari 2017

laporan museum ronggowarsito



FIELD TRIP MUSEUM RONGGOWARSITO
LAPORAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI


Oleh :

Dwi Fitriani Izqi         (1403026041)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
Pada mata kuliah Islam dan Budaya Jawa, Bapak M. Rikza Chamami selaku dosen pengampu mengadakan field trip (karyawisata) pada akhir perkuliahan, tepatnya dilaksanakan pada Sabtu Legi,17 Desember 2016 pukul 09.00 Wib di Museum Ronggowarsito yang terletak di Jalan Abdurrahman Saleh No 1, Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kota Semarang. Mahasiswa diwajibkan berpakaian baju kebaya atau baju adat etnik dengan membawa alat tulis dan kamera untuk mengabadikan moment bersama teman-teman dan mengambil gambar koleksi-koleksi yang ada di dalam Museum Ronggowarsito. Museum ini  memiliki koleksi sejarah, alam, arkeologi, kebudayaan, era pembangunan dan wawasan nusantara dengan total koleksi 59.802 buah dan menempati luas tanah 1,8 hektare yang resmi dibuka oleh Prof. Dr. Fuad Hasan pada tanggal 5 Juli 1989.
Museum Ronggowarsito mempunyai berbagai koleksi benda maupun miniatur dari peninggalan sejarah kebudayaan Jawa yang berkaitan dengan kebudayaan Islam. Berikut akan dipaparkan beberapa koleksi yang berkaitan dengan budaya Jawa Islam, diantaranya sebagai berikut:
1.      Miniatur Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dan dibangun oleh Sunan Kudus (Syekh Jafar Sodiq) pada tahun 1549 M/956 H. Masjid Kudus memiliki luas ± 2400 m². Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti  proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang kembar", konon kabarnya gapura tersebut berasal dari bekas kerajaan Majapahit.
       


2.      Pelana Kuda Sunan Muria
Sunan Muria adalah salah satu anggota Wali Songo, dia dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), tempat dia dimakamkan. Kebetulan tugas Sunan Muria untuk mengislamkan atau mentauhidkan orang-orang kampung pelosok  desa dengan kendaraan beliau yakni kuda putih, yang samapai sekarang pelana kudanya masih ada.


3.      Candi Borobudur
Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Yogyakarta dan dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun 824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an M. Candi Borobudur memiliki 10 tingkat yang terdiri dari 6 tingkat berbentuk bujur sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Di setiap tingkat terdapat beberapa stupa. Seluruhnya terdapat 72 stupa selain stupa utama. Di setiap stupa terdapat patung Buddha. Borobudur memiliki ketinggian total 42 meter. Saat ini, Borobudur telah menjadi obyek wisata yang menarik banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain itu, Candi Borobudur telah menjadi tempat suci bagi penganut Buddha di Indonesia dan menjadi pusat perayaan tahunan paling penting penganut Buddha yaitu Waisak.


4.      Miniatur Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak merupakan Masjid tertua di Pulau Jawa. Masjid ini merupakan tempat berkumpulnya para wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut Wali Songo. Pendiri masjid ini adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad 15 M. Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian: iman, Islam, dan ihsan.

Budaya Jawa Pra Islam



BUDAYA JAWA PRA ISLAM
(ANIMISME DAN DINAMISME)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI
Oleh :
1.         Abdulah Haidar          (133211078)
2.         Dwi Fitriani Izqi         (1403026041)
3.         St. Umi Nafiatul M     (1403026043)
4.         Nafissatur Rahmah     (1403026046)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016

I.             PENDAHULUAN
Meskipun Islam datang ke Kepulauan Nusantara, termasuk relatif lebih lambat daripada kawasan-kawasan lain, tetapi dengan tanpa goncangan yang berarti agama tersebut dapat diterima dengan baik oleh penduduknya. Sehingga sebagian besar penduduk wilayah Nusantara, Indonesia pada khususnya beragama islam. Dengan demikin negara ini dihuni oleh masyarakat yang mayoritas muslim.
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan adanya islamisasi di Jawa. Pertama, agama Hindu, Budha dan kepercayaan lama yang berkembang terlebih dahulu. Agama Hindu dan Budha dipeluk oleh elit kerajaan, sedangkan kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh kalangan awam. Walaupun ketiganya berbeda, namun bertumpu pada titik yang sama. Semuanya kental dengan nuansa mistik dan mencari sangkan paraning dumadi  dan mendambakan manungaling kawulo gusti. Kedua, meskipun masih diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, tetapi islamisasi besar-besaran baru terjadi pada abad ke-15 dan ke-16 dengan ditandai jatuhnya kerajaan Majapahit, kerajaan Hindu Jawa pada tahun 1478 dan berdirnya Demak sebagai kerajaan Islam pertama. Namun sebelum terlalu jauh kita berbicara mengenai proses islamisasi di Jawa, beberapa sumber menyatakan adanya kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh masyarakat Jawa pada masa itu.
Dalam kesempatan kali ini kami akan mengulas sedikit cerita mengenai kebudayaan Jawa pada masa sebelum Islam masuk ke tanah Jawa.
II.          Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kebudayaan pra islam?
2.      Bagaimana kepercayaan animisme pada masyarakat Jawa?
3.      Bagaimana kepercayaan dinamisme pada masyarakat Jawa?



  
III.       PEMBAHASAN
A.          Budaya Jawa Pra Islam
         Masyarakat jawa atau suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang yang bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari daerah tersebut. Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup yang dipengaruhi oleh sejarah, tradisi dan agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat Jawa. Semboyan “saiyeg saeka praya” atau gotong royong merupaan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan mendasar.[1] Budaya jawa asli yang telah diakui oleh para sejarahwan diantaranya:
a.       Kemampuan dalam bercocok tanam, cara bercocok tanam yang pertama dilakukan, yaitu dengan sistem berladang. Lama kelamaan sistem ini berubah menjadi bersawah. Cara bercocok tanam dengan bersawah kemudian menjadi bagian dari hidup mereka. Berkenaan dengan hal itu, mereka berusaha mencari tempat tinggal dan tempat bercocok tanam yang terletak disepanjang aliran sungai. Akhirnya, mereka mampu mengatur tata air melalui irigasi sederhana. Mereka juga dapat menentukan jenis tanaman apa yang cocok ditanam pada suatu musim. Hal ini tidak mengherankan karena mereka telah mengenal ilmu perbintangan.
b.      Pada bidang seni, nenek moyang kita telah pandai membuat boneka – boneka untuk kesenian wayang. Alat-alat gamelan pun dibuat untuk memeriahkan seni pertunjukkan tersebut. Selain itu, mereka telah mampu membuat batik, kerajinan logam, dengan beragam bentuk, dan benda-benda dari batu yang besar (tradisi megalitikum).
c.       Nenek moyang kita telah mempercayai adanya kekuatan maha tinggi di luar darinya. Mereka percaya bahwa jika seseorang meninggal, hanya jasmaninya saja yang hancur, tetapi rohnya tetap hidup. Roh-roh itu bertempat tinggal di suatu daerah keramat. Nenek moyang kita lantas memuja roh-roh itu sehingga memunculkan kebiasaan membakar kemenyan, berkenduri, dan membuat sesaji.[2]
Masyarakat jawa memiliki ikatan solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat jawa, pendewaan dan permitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancersfor worship) yang pada akhirnya melahirkan hokum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selatan, ruh nenek moyang menjadi sebentuk dewa perlindungan bagi keluarga yang masih hidup. Selain itu seni pewayangan dan gamelan dijadikan sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap sebagai “pengamong dan pelindung” keluarga yang masih hidup.
Agama asli yang oleh para antropolog disebut religion magic ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar di masyarakat Jawa. Keberadaan ruh dan kekuatan gaib dipandang sebagai tuhan atau dewa yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Dalam kehidupan keagamaan orang jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak lahir sampai mati, ataupun upacara yang berkaitan dengan seputar  lingkungan hidup manusia. Upacara-upacara tersebut biasa disebut dengan slametan atau wilujengan.
Slametan ini merupakan unsur jawa sebelum islam masuk ke tanah jawa. Ketika islam datang unsur pra-islam yang berupaya kepercayaan animism, dinamisme dan pengaruh hindu budha sudah mengakar kuat dalam masyarakat jawa, sehingga sulit untuk menghilangkannya. Begitu beragamnya penerimaan masyaraat jawa terhadap islam, maka para sarjana barat, seperti Clifford Geertz, mengklasifikasikan keagamaan orang jawa menjadi tiga bagian, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Namun dalam kesehariannya golongan abangan dan santri yang sering kali terhjadi interaksi yang kuat. Golongan islam abangan dan santri memiiki pandangan yang berbeda mengenai sametan, khususnya slametan kematian. Namun dalam kenyataanya, kedua golongan ini dapat duduk bersama, berinteraksi, dan berakuturasi dalam suatu upacara slametan kematian di desa Sugihan, Jatiroto, Wonogori.[3]
B.           Kepercayaan Animisme
Budaya jawa asli memang telah berkembang semenjak masa prasejarah. Sebagai halnya suku-suku sederhana lainnya, budaya asli Jawa ini bertumpu pada religi animism dan dinamise. Dasar pikiran dalam religi animism dan dinamise bahwa dunia ini juga didiami oleh roh-roh halus termasuk roh nenek moyang dan juga kekuatan gaib.[4] Animisme dan dinamisme adalah langkah awal manusia zaman purba mengenal Tuhannya. Di Indonesia dua kepercayaan ini sudah dianut oleh masyarakat jauh sebelum mereka mengenal budaya dan agama. Pertama kali yang dianut oleh nenek moyang bangsa Indonesia adalah animisme yang memuja benda-benda dialam sebab yakin jika didalamnya memiliki roh. Selanjutnya berkembang menjadi kepercayaan dinamisme yang meyakini bahwa beberapa benda tertentu memiliki kekuatan gaib.[5]
Kepercayaan animisme  (dari bahasa Latin  anima atau "roh") adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif.[6] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, animisme adalah kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu suangai, gunung dan lainnya).[7]Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di Bumi ini, mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka. Secara istilah, animisme adalah percaya kepada roh-roh halus atau roh leluhur yang ritualnya terekspresikan dalam persembahan tertentu di tempat-tempat yang dianggap keramat.[8]
Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan. Suku bangsa Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yang merupakan suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga pada manusia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki roh yang berwatak buruk maupun baik. Dengan kepercayaan tersebut, mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembah dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji.[9]
Diperkirakan bahwa di provinsi Kalimantan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme, dan tergolong banyak untuk pemeluk animisme di Indonesia. Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Kepercayaan ini berbeda dengan kepercayaan reinkarnasi seperti yang terdapat pada agama Hindu dan Buddha, di mana dalam reinkarnasi, jiwa tidak pindah langsung ke tubuh hewan lain yang hidup, melainkan melalui proses kelahiran kembali kedunia dalam bentuk kehidupan baru. Pada agama Hindu dan Buddha juga terdapat konsep karma yang berbeda dengan kepercayaan animisme ini.[10]
Masyarakat Jawa melakukan upacara-upacara untuk menghormati para leluhur mereka pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Mereka meminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar tidak mengganggunya. Mereka membuat beberapa monument yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat. Arwah yang pernah hidup pada masa sebelumnya dianggap banyak jasa dan pengalamannya sehingga perlu dimintai berkah dan petunjuk. Cara yang ditempuh untuk menghadirkan arwah nenek moyang dalah dengan mengundang orang yang sakti dan ahli dalam bidang tersebut, yang disebut perewangan, untuk memimpin acara. Mereka juga membuat patung nenek moyang agar arwah roh nenek moyang masuk dalam patung tersebut dengan bantuan dan upaya perewangan tersebut. Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek moyang. Mereka menyempurnakan upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian agar arwah nenek moyang yang dipanggil menjadi gembira dan berkenan memberikan berkah kepada keluarganya. Sisa-sisa upacara keagamaan semacam itu masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat jawa sekarang.
Upacara kematian yang dilaksanakan secara berurutan yaitu slametan surtanah atau geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang. Slametan nelung dina yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang. Slametan mitung dina, yaitu upacara selamatan saat sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh. Kemudian, slametan matang puluh dina atau empat puluh harinya. Selamtean nyatus atau seratus harinya. Slametan mendak sepisan dan mendak pindo yaitu setahun dan dua tahunnya. Slametan nyewu atau keseribu harinya. Slametan nguwis-uwisi atau peringatan saat kematian seseorang terakhir kali.
Upacara selamatan dan pertunjukan tari-tarian tradisional serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan zaman animisme yang terus dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini. Kedua, tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo sing mbahureksa, mbahe atau danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang, tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau atau tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Agar dapat menarik simpati roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji yang diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, demit, dan jin yang mbahureksa atau diam di tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu, juga untuk memohon berkah dan memohon perlindungan dari yang mbahureksa agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarganya.
Penanggalan Jawa yang memuat keanekaragaman waktu dengan sistem penanggalan berdasarkan hari yang dikodifikasi olehnya. Sistem penanggalan berdasarkan hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, masing-masingnya disebut pancawara atau pasaran, sadwara dan saptawara. Nama hari-hari pancawara atau sadwara semuanya berasal dari Jawa, yaitu pahing, pon, wage, kliwon, dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung, paning rong, uwas, dan mawulu. Di Bali pun masih demikian, dan yang sekaraang berasal dari bahasa Arab adalah ahad, senen, selasa, rebo, kemis, jemuwah, dan setu. Sesajian kepada roh-roh dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik walaupun agak rumit. Kerumitan hari-hari di Jawa memang telah berkurang jika dibandingkan dengan di Bali, dimana hanya diperhitungkan pertemuan antara hari-hari pancawara dan sadwara. Kombinasi antara Selasa dan Jum’at dengan pasaran Kliwon dianggap sangat istimewa.[11]

C.          Kepercayaan Dinamisme
         Kata dinamisme betrasal dari bahasa Yunani dunamos yang artinya kekuatan atau daya.[12] Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.[13] Dinamisme (dalam kaitan agama dan kepercayaan) adalah pemujaan terhadap roh (sesuatu yang tidak tampak mata). Mereka percaya bahwa roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempat-tempat tertentu, seperti pohon-pohon besar. Arwah nenek moyang itu sering dimintai tolong untuk urusan mereka. Caranya adalah dengan memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam benda-benda pusaka seperti batu hitam atau batu merah delima.[14] Ada juga yang menyebutkan bahwa dinamisme adalah kepercayaan yang mempercayai terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu benda. istilah tersebut disebut dengan mana.
         Kepercayaan dinamisme mempercayai bahwa seluruh benda di alam baik benda hidup maupun benda mati.  Masyarakat Jawa mempercayai bahwa benda-benda itu dapat mempengaruhi manusia, baik atau buruk. Beberapa benda yang diyakini memiliki kekuatan misalnya benda-benda pusaka, keris, tombak, gamelan maupun lambang-lambang kejayaan lainnya. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi dari pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati di balik semua kekuatan alam itu. Selanjutnya, sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan.
         Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin  atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni yaitu tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar matahari apapun selama empat puluh hari empat puluh malah. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yaitu berupa keris, tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan. Tindakan keagamaan tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme.[15]Jadi, kepercayaan dinamisme adalah keyakinan bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib, karena itu harus dihormati dan terkadang harus dilakukan ritual tertentu.[16]


IV.   PENUTUP
A.    Kesimpulan
Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun temurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Pada umumnya masyarakat Jawa masih melestarikan budaya, adat istiadat warisan nenek moyangnya, seperti: Slametan, memberikan sesajen kepada roh leluhur dan lainnya.
Sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha masyarakat Jawa telah menjadi masyarakat yang tersusun secara teratur, sederhana, dan bersahaja. Sebagai masyarakat yang sederhana, sistem religi yang dianut adalah animisme dan dinamisme dimana ia menjadi inti kebudayaan masyarakat Jawa yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupannya. Kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga pada manusia sendiri. Kepercayaan dinamisme adalah keyakinan bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib, karena itu harus dihormati dan terkadang harus dilakukan ritual tertentu.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat. Pemakalah menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendukung demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiiiiin.


[1] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang; Pustaka Zaman,2002), hlm 4-5.
[3] Shodiq, Potret Islam Jawa,……, hlm 6-7.
[4] Islam Jawa, (TUGU PUBLISHER;2006), hlm 38.
[6] https://id.wikipedia.org/wiki/Animisme diakses pada tanggal  20 September 2016 pukul 08:50.
[7]http://kbbi.web.id/animisme ,diaksespadatanggal 20 September 2016 pukul 08:45.
[8]http://ilmiaindonesiaku.blogspot.co.id/2016/01/makalah-kebudayaan-jawa-pra-islam.html, diaksespadatanggal 20 September 2016 pukul 10:00.
[9] Darori Amin, dkk, Islam dan KebudayaanJawa, (Yogyakarta; Gama Media, 2000) hlm. 5-6.
[10] Shodiq, Potret Islam Jawa,……., hlm 8.
[11]DaroriAmin, dkk, Islam dan KebudayaanJawa,……..hlm. 6-9.
[15]DaroriAmin, dkk, Islam dan KebudayaanJawa,……, hlm9-10.

[16]http://ilmiaindonesiaku.blogspot.co.id/2016/01/makalah-kebudayaan-jawa-pra-islam.html.


DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori, dkk,  2000, Islam dan KebudayaanJawa, Yogyakarta; Gama Media.
Islam Jawa, 2006, TUGU PUBLISHER.
Shodiq, 2002, Potret Islam Jawa, Semarang; Pustaka Zaman.
http://ilmiaindonesiaku.blogspot.co.id/2016/01/makalah-kebudayaan-jawa-pra-islam.html. https://id.wikipedia.org/wiki/Animisme.
http://kbbi.web.id/animisme.