BUDAYA JAWA PRA ISLAM
(ANIMISME DAN DINAMISME)
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Islam Budaya Jawa
Dosen
Pengampu : M. Rikza
Chamami, MSI
Oleh
:
1.
Abdulah Haidar (133211078)
2.
Dwi
Fitriani Izqi (1403026041)
3.
St. Umi Nafiatul M (1403026043)
4.
Nafissatur Rahmah (1403026046)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
Meskipun Islam datang ke Kepulauan
Nusantara, termasuk relatif lebih lambat daripada kawasan-kawasan lain, tetapi
dengan tanpa goncangan yang berarti agama tersebut dapat diterima dengan baik
oleh penduduknya. Sehingga sebagian besar penduduk wilayah
Nusantara, Indonesia pada khususnya beragama islam. Dengan demikin negara ini
dihuni oleh masyarakat yang mayoritas muslim.
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan
adanya islamisasi di Jawa. Pertama, agama Hindu, Budha dan kepercayaan lama
yang berkembang terlebih dahulu. Agama Hindu dan Budha dipeluk oleh elit
kerajaan, sedangkan kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh
kalangan awam. Walaupun ketiganya berbeda, namun bertumpu pada titik yang sama.
Semuanya kental dengan nuansa mistik dan mencari sangkan paraning dumadi dan mendambakan manungaling kawulo gusti. Kedua,
meskipun masih diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, tetapi islamisasi
besar-besaran baru terjadi pada abad ke-15 dan ke-16 dengan ditandai jatuhnya kerajaan
Majapahit, kerajaan Hindu Jawa pada tahun 1478 dan berdirnya Demak sebagai
kerajaan Islam pertama. Namun sebelum terlalu jauh kita berbicara mengenai
proses islamisasi di Jawa, beberapa sumber menyatakan adanya kepercayaan
animisme dan dinamisme yang dianut oleh masyarakat Jawa pada masa itu.
Dalam kesempatan kali ini kami akan mengulas
sedikit cerita mengenai kebudayaan Jawa pada masa sebelum Islam masuk ke tanah
Jawa.
II.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kebudayaan pra
islam?
2.
Bagaimana kepercayaan
animisme pada masyarakat Jawa?
3.
Bagaimana kepercayaan
dinamisme pada masyarakat Jawa?
III. PEMBAHASAN
A.
Budaya Jawa Pra Islam
Masyarakat jawa atau suku
bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup
kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara
turun-temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang yang bertempat tinggal di
Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari daerah tersebut. Masyarakat Jawa
merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup yang
dipengaruhi oleh sejarah, tradisi dan agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan. Sistem
hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat Jawa. Semboyan “saiyeg saeka praya” atau gotong royong merupaan
rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun
adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan
yang kuat dan mendasar. Budaya
jawa asli yang telah diakui oleh para sejarahwan diantaranya:
a. Kemampuan dalam bercocok tanam, cara bercocok tanam yang pertama dilakukan, yaitu
dengan sistem berladang. Lama kelamaan sistem ini berubah
menjadi bersawah. Cara bercocok tanam dengan bersawah kemudian menjadi
bagian dari hidup mereka. Berkenaan dengan hal itu, mereka berusaha mencari
tempat tinggal dan tempat bercocok tanam yang terletak disepanjang aliran
sungai. Akhirnya, mereka mampu mengatur tata air melalui irigasi sederhana.
Mereka juga dapat menentukan jenis tanaman apa yang cocok ditanam pada suatu
musim. Hal ini tidak mengherankan karena mereka telah mengenal ilmu
perbintangan.
b. Pada bidang seni, nenek moyang kita telah pandai membuat boneka – boneka
untuk kesenian wayang. Alat-alat gamelan pun dibuat untuk memeriahkan seni pertunjukkan
tersebut. Selain itu, mereka telah mampu membuat batik, kerajinan logam, dengan
beragam bentuk, dan benda-benda dari batu yang besar (tradisi megalitikum).
c. Nenek moyang kita telah mempercayai adanya
kekuatan maha tinggi di luar darinya. Mereka percaya bahwa jika seseorang meninggal, hanya jasmaninya saja yang hancur, tetapi
rohnya tetap hidup. Roh-roh itu bertempat tinggal di suatu daerah keramat.
Nenek moyang kita lantas memuja roh-roh itu sehingga memunculkan kebiasaan
membakar kemenyan, berkenduri, dan membuat sesaji.
Masyarakat jawa memiliki ikatan solidaritas
sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat jawa, pendewaan dan
permitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancersfor
worship) yang pada akhirnya melahirkan hokum adat dan relasi-relasi
pendukungnya. Dengan upacara-upacara selatan, ruh nenek moyang menjadi sebentuk
dewa perlindungan bagi keluarga yang masih hidup. Selain itu seni pewayangan
dan gamelan dijadikan sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh
nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap
sebagai “pengamong dan pelindung” keluarga yang masih hidup.
Agama asli yang oleh para
antropolog disebut religion magic ini merupakan nilai budaya yang paling
mengakar di masyarakat Jawa. Keberadaan ruh dan kekuatan gaib dipandang
sebagai tuhan atau dewa yang dapat
menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Dalam kehidupan keagamaan orang
jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik yang berkaitan dengan lingkaran
hidup manusia sejak lahir sampai mati, ataupun upacara yang berkaitan dengan
seputar lingkungan hidup manusia.
Upacara-upacara tersebut biasa disebut dengan slametan atau wilujengan.
Slametan ini merupakan unsur jawa sebelum islam
masuk ke tanah jawa. Ketika islam datang unsur pra-islam yang berupaya
kepercayaan animism, dinamisme dan pengaruh hindu budha sudah mengakar kuat
dalam masyarakat jawa, sehingga sulit untuk menghilangkannya. Begitu beragamnya
penerimaan masyaraat jawa terhadap islam, maka para sarjana barat, seperti
Clifford Geertz, mengklasifikasikan keagamaan orang jawa menjadi tiga bagian,
yaitu abangan, santri, dan priyayi. Namun dalam kesehariannya golongan abangan
dan santri yang sering kali terhjadi interaksi yang kuat. Golongan islam
abangan dan santri memiiki pandangan yang berbeda mengenai sametan, khususnya
slametan kematian. Namun dalam kenyataanya, kedua golongan ini dapat duduk
bersama, berinteraksi, dan berakuturasi dalam suatu upacara slametan kematian
di desa Sugihan, Jatiroto, Wonogori.
B.
Kepercayaan Animisme
Budaya jawa asli memang telah berkembang semenjak masa
prasejarah. Sebagai halnya suku-suku sederhana lainnya, budaya asli Jawa ini
bertumpu pada religi animism dan dinamise. Dasar pikiran dalam religi animism
dan dinamise bahwa dunia ini juga didiami oleh roh-roh halus termasuk roh nenek
moyang dan juga kekuatan gaib. Animisme dan dinamisme adalah langkah awal manusia
zaman purba mengenal Tuhannya. Di Indonesia dua kepercayaan ini sudah dianut
oleh masyarakat jauh sebelum mereka mengenal budaya dan agama. Pertama kali
yang dianut oleh nenek moyang bangsa Indonesia adalah animisme yang memuja
benda-benda dialam sebab yakin jika didalamnya memiliki roh. Selanjutnya
berkembang menjadi kepercayaan dinamisme yang meyakini bahwa beberapa benda
tertentu memiliki kekuatan gaib.
Kepercayaan animisme (dari bahasa Latin anima atau "roh") adalah
kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, animisme adalah kepercayaan kepada roh
yang mendiami semua benda (pohon, batu suangai, gunung dan lainnya).Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di Bumi ini,
mempunyai jiwa yang mesti
dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu
mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka. Secara istilah, animisme adalah percaya kepada roh-roh halus atau
roh leluhur yang ritualnya terekspresikan dalam persembahan tertentu di
tempat-tempat yang dianggap keramat.
Ciri
masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan. Suku bangsa Jawa sejak masa
prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yang merupakan suatu
kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan juga pada manusia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama
mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan
gaib atau memiliki roh yang berwatak buruk maupun baik. Dengan kepercayaan
tersebut, mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang ada, terdapat roh
yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh
tersebut mereka menyembah dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan
sesaji.
Diperkirakan
bahwa di provinsi Kalimantan
Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme, dan
tergolong banyak untuk pemeluk animisme di Indonesia. Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang
dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang
telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan.
Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan membalas dendam
orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Kepercayaan
ini berbeda dengan kepercayaan reinkarnasi
seperti yang terdapat pada agama Hindu dan Buddha,
di mana dalam reinkarnasi, jiwa tidak pindah langsung ke tubuh hewan lain yang
hidup, melainkan melalui proses kelahiran kembali kedunia dalam bentuk
kehidupan baru. Pada agama Hindu dan Buddha juga terdapat konsep karma yang berbeda dengan kepercayaan
animisme ini.
Masyarakat
Jawa melakukan upacara-upacara untuk menghormati para leluhur mereka
pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka
terlindung dari roh yang jahat. Mereka meminta berkah pada roh, dan meminta pada
roh jahat agar tidak mengganggunya. Mereka membuat beberapa monument yang
terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat
pemujaan untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.
Arwah yang pernah hidup pada masa sebelumnya dianggap banyak jasa dan
pengalamannya sehingga perlu dimintai berkah dan petunjuk. Cara yang ditempuh
untuk menghadirkan arwah nenek moyang dalah dengan mengundang orang yang sakti
dan ahli dalam bidang tersebut, yang disebut perewangan, untuk memimpin
acara. Mereka juga membuat patung nenek moyang agar arwah roh nenek moyang
masuk dalam patung tersebut dengan bantuan dan upaya perewangan
tersebut. Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji dan
membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek moyang.
Mereka menyempurnakan upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian
agar arwah nenek moyang yang dipanggil menjadi gembira dan berkenan memberikan
berkah kepada keluarganya. Sisa-sisa upacara keagamaan semacam itu masih dapat
dijumpai dalam kehidupan masyarakat jawa sekarang.
Upacara
kematian yang dilaksanakan secara berurutan yaitu slametan surtanah atau
geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang. Slametan nelung dina
yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari ketiga sesudah saat
meninggalnya seseorang. Slametan mitung dina, yaitu upacara selamatan
saat sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh. Kemudian, slametan
matang puluh dina atau empat puluh harinya. Selamtean nyatus atau
seratus harinya. Slametan mendak sepisan dan mendak pindo yaitu setahun
dan dua tahunnya. Slametan nyewu atau keseribu harinya. Slametan
nguwis-uwisi atau peringatan saat kematian seseorang terakhir kali.
Upacara selamatan dan
pertunjukan tari-tarian tradisional serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa
tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan zaman animisme yang terus dianut dan
dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini. Kedua, tindakan keagamaan
lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen
kanggo sing mbahureksa, mbahe atau danyang yang berdiam di
pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang,
tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa
lampau atau tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan
gaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Agar dapat menarik simpati
roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu dipasang
sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji yang diselenggarakan
untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk
halus seperti lelembut, demit, dan jin yang mbahureksa atau diam di
tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan
kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu, juga untuk memohon berkah
dan memohon perlindungan dari yang mbahureksa agar terhindar dan
terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk
mengganggu keluarganya.
Penanggalan Jawa yang
memuat keanekaragaman waktu dengan sistem penanggalan berdasarkan hari yang
dikodifikasi olehnya. Sistem penanggalan berdasarkan hari yang pada pokoknya
berlandaskan pada paduan tiga pekan, masing-masingnya disebut pancawara atau
pasaran, sadwara dan saptawara. Nama hari-hari pancawara atau
sadwara semuanya berasal dari Jawa, yaitu pahing, pon, wage, kliwon, dan
legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung, paning rong,
uwas, dan mawulu. Di Bali pun masih demikian, dan yang sekaraang berasal dari
bahasa Arab adalah ahad, senen, selasa, rebo, kemis, jemuwah, dan setu.
Sesajian kepada roh-roh dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik
walaupun agak rumit. Kerumitan hari-hari di Jawa memang telah berkurang jika
dibandingkan dengan di Bali, dimana hanya diperhitungkan pertemuan antara
hari-hari pancawara dan sadwara. Kombinasi antara Selasa dan
Jum’at dengan pasaran Kliwon dianggap sangat istimewa.
C.
Kepercayaan Dinamisme
Kata dinamisme betrasal dari bahasa Yunani dunamos yang artinya kekuatan
atau daya.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, dinamisme adalah kepercayaan bahwa
segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.
Dinamisme (dalam kaitan agama dan kepercayaan) adalah
pemujaan terhadap roh (sesuatu yang tidak tampak mata). Mereka percaya bahwa
roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempat-tempat tertentu,
seperti pohon-pohon besar. Arwah nenek moyang itu sering dimintai tolong untuk
urusan mereka. Caranya adalah dengan memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam
benda-benda pusaka seperti batu hitam atau batu merah delima.
Ada juga yang menyebutkan bahwa dinamisme adalah kepercayaan yang mempercayai
terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu benda. istilah tersebut
disebut dengan mana.
Kepercayaan dinamisme mempercayai bahwa seluruh benda di alam baik benda
hidup maupun benda mati. Masyarakat Jawa
mempercayai bahwa benda-benda itu dapat mempengaruhi manusia, baik atau buruk.
Beberapa benda yang diyakini memiliki kekuatan misalnya benda-benda pusaka,
keris, tombak, gamelan maupun lambang-lambang kejayaan lainnya. Masyarakat Jawa
mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi dari
pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari
kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam,
matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan
adikodrati di balik semua kekuatan alam itu. Selanjutnya, sebagai sisa
peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk
menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya
dapat dikalahkan.
Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih
ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan
mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti
nasi, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum
minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada
hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan
pati geni yaitu tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar
matahari apapun selama empat puluh hari empat puluh malah. Usaha untuk menambah
kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda
bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yaitu berupa keris,
tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan. Tindakan keagamaan
tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme.Jadi,
kepercayaan dinamisme adalah keyakinan bahwa benda-benda tertentu memiliki
kekuatan gaib, karena itu harus dihormati dan terkadang harus dilakukan ritual
tertentu.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam
hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun
temurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Pada
umumnya masyarakat Jawa masih melestarikan budaya, adat istiadat warisan nenek moyangnya,
seperti: Slametan, memberikan sesajen kepada roh leluhur dan lainnya.
Sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha masyarakat Jawa telah menjadi
masyarakat yang tersusun secara teratur, sederhana, dan bersahaja. Sebagai
masyarakat yang sederhana, sistem religi yang dianut adalah animisme dan
dinamisme dimana ia menjadi inti kebudayaan masyarakat Jawa yang mewarnai
seluruh aktivitas kehidupannya. Kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan
tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga
pada manusia sendiri. Kepercayaan dinamisme
adalah keyakinan bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib, karena itu
harus dihormati dan terkadang harus dilakukan ritual tertentu.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat. Pemakalah menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.
Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendukung demi kesempurnaan
makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiiiiin.
http://kbbi.web.id/animisme ,diaksespadatanggal
20 September 2016 pukul 08:45.
DaroriAmin, dkk, Islam dan KebudayaanJawa,……..hlm. 6-9.
DaroriAmin, dkk, Islam dan KebudayaanJawa,……, hlm9-10.
http://ilmiaindonesiaku.blogspot.co.id/2016/01/makalah-kebudayaan-jawa-pra-islam.html.
DAFTAR PUSTAKA
http://kbbi.web.id/animisme.